Catatan singkat Buku
Politik Hukuman Mati di Indonesia
Relasi Hukuman Mati
dan kekuasaan Di indonesia
Keberlangsungan hukuman mati hingga saat ini masih menuai pro-kontra yang dilandasi dengan dua argumentasi utama. Pihak yang menganggap perlunya hukuman mati diberlakukan berpandangan untuk menviptakan semacam efek jwrah kepada masyarakat agar tidak melakukan hal-hal yang tidak sesuai dwngan moralitas dan diluardaripada kebaikan. Namun menurut pihak yang kontra akan hukuman mafi berpandangan bahwa sejauh diberlakukan hukuman mati belum sama sekali memberikan fakta empiris yang kuat sebagai keberlabgsungan hukuman mati, hukuman mati dianggap menghina comon sense dan akodrati terhadap manusia yang semestinya ditumbuhkan rasa kemanusiaan. Upaya hukuman mati lebih helas terkesan pada pembalasan dendam negara terhadap pembuat kesalahan, walaupun story line wacana yang terbangun adalah melindungi masyarakat dan keamanan negara. Upaya pembelasan dendam tentu bukan cara berpikir yang adil dan perlu diganyakan kembali keabsahannya. Hukuman yang sejalan dengan pengampunan akan lebih memberi ruang pada pelaku kejahatan untuk merubah perliku ketimbang harua dimusnahkan dengan hukuman magi. Lalu bagaimana relasi hukuman mati dengan kekuasaan ? Apakah hukuman mati memang suatu upaya fasional nwgara untuk melindungi rakyatnya atau ingin menciptakan ketakutan oada masyarakat sehingga tunduk pada penguasa ?
Perjalanan Hukuman Mati
Hukuman mati merupakaan sebuah tindakan ideologis, karena didasarkan pada nilai pembenaran atas pemberlakuan diskriminatif dari kelas yang berkuasa terhadap kelas yang tertindas.
Penguasaan masyarakat secara umum, serta kehendak berkuasa dengan langgeng dari panguasa, maka tertib sosial ditegakan dan penguasa dibenarkan untuk mencabut nyawa manusia selain tuhan.
Indonesia memiliki seharah yang telah lama tumbuh bersama tradisi hukuman mati,sejak zaman feodal atas nama tata "tentreming-praja" , zaman kolonial atas nama "rust en orde" , zaman fasisme jepang atas nama "nipon raya" , zaman revolusi nasional atas nama "rule of law", dan zaman orde baru atas nama "stabilitas nasional" hingga samapai pada jokowidodo atas nama indonesia darurat narkoba.
Hukuman mati selalu mencari wacana agar mendapatkan legitimasi publik, namun legitimasi publik khusunya untuk hukuman mati tidak mencerminkan "persetujuan publik" melainkan "penguasaan atas persetujuan publik". Dalam wilayah setuju dan tidak setuju atas suatu kebijakan nasional seharusnya dihiduokan demokrasi deliberatif, semuah gagasan harus diuji, diuji dengan argumentasi yang rasional yang menyangkut kepentingan orang banyak, bila demokrasi deliberatif tidak dipraksiskan sebelum perberlakuaan atas suatu kebijakan maka jelas yang terjadi adalah penguasaan atas pengetahuan, keefesiensi, serta keabsahan yang seharuanya diperiksa.
Secara empiris, belum ada yang namanya hukuman mati memiliki efek jerah dan membuat para pembuat kesalahan menjadi sadar dan cenderung membentuk watak perilaku yang baik. Hukuman mati justru terkesan ingin melakukan penguasaan atas ruang "psikologis publik" dengan menanamkan memori ketakutan atas segala elemen guna melakukan penundukan terhadap penguasa secara masif. Sejalan dengan falsafah kekuasaan machiaveli, bahwa penguasa lebih baik ditakuti daripada dicintai, penguasa akan meniadakan moralitas dari poltik, guna menopang lekuasaanha agar tidak diintervensi oleh berbagai pikiran diluar pikirannya. Paradoks sangat ditolak, sekalipun keberadaan paradoks itu membuktikan tidadnya ruang dialektika yang sehat atas keputusan diberlakukan kebijakan.
Relasi antara hukuman mati dengan kekuasaan berjalan seirama, untuk dapat melanggengkan kekuasaan maka perlu oenguasa harus membuat masyarakatnya takut, masyarakatnya tunduk dan patuh pada keinginan penguasa.
Kesimpulan
Menyoal hukuman mati terutama kita perlu mengetahui esensi kemanusiaan, mengenal dengan dalam hak aaasi manusia dan bagaimana peran negara untuk menjaga keberlangsungan esenai kemanusiaan dan hak asaai manusia. Hukuman mati tidak sajah kontras kemanusian sehingga memunculkan emansipas, tapi perlu hukuman mati itu dperiksa keberpihakannya,dan dari mana persetujuan itu disapatkan. Kemanusiaan yang adil dan beradap merupakan sebuah gagasan ideologis indonesia yang harus membumi dan merasuki setiap gagasan regulasi dan kebijakan. Tidak bisa dipungkiri, bahwa keberadaan hukuman mati merupakan cerminan rezim dan penguasanya tidak memiliki watak ideologis. Atas dasar negara yang menjunjung tinggi harkat dan bartabat kemanusiaan maka sudah otomatia tanpa adanya emansipasi harapnya kemantangan mengideologisasi kebijakan sudah harus tuntas. Jangan karna alasan kekuasaan ideologi dipermainkan, publik dibodohkan dan kekuasaan dilanjutkan.
Yusril Toatubun
Malang/ 23/12/2018
Politik Hukuman Mati di Indonesia
Relasi Hukuman Mati
dan kekuasaan Di indonesia
Keberlangsungan hukuman mati hingga saat ini masih menuai pro-kontra yang dilandasi dengan dua argumentasi utama. Pihak yang menganggap perlunya hukuman mati diberlakukan berpandangan untuk menviptakan semacam efek jwrah kepada masyarakat agar tidak melakukan hal-hal yang tidak sesuai dwngan moralitas dan diluardaripada kebaikan. Namun menurut pihak yang kontra akan hukuman mafi berpandangan bahwa sejauh diberlakukan hukuman mati belum sama sekali memberikan fakta empiris yang kuat sebagai keberlabgsungan hukuman mati, hukuman mati dianggap menghina comon sense dan akodrati terhadap manusia yang semestinya ditumbuhkan rasa kemanusiaan. Upaya hukuman mati lebih helas terkesan pada pembalasan dendam negara terhadap pembuat kesalahan, walaupun story line wacana yang terbangun adalah melindungi masyarakat dan keamanan negara. Upaya pembelasan dendam tentu bukan cara berpikir yang adil dan perlu diganyakan kembali keabsahannya. Hukuman yang sejalan dengan pengampunan akan lebih memberi ruang pada pelaku kejahatan untuk merubah perliku ketimbang harua dimusnahkan dengan hukuman magi. Lalu bagaimana relasi hukuman mati dengan kekuasaan ? Apakah hukuman mati memang suatu upaya fasional nwgara untuk melindungi rakyatnya atau ingin menciptakan ketakutan oada masyarakat sehingga tunduk pada penguasa ?
Perjalanan Hukuman Mati
Hukuman mati merupakaan sebuah tindakan ideologis, karena didasarkan pada nilai pembenaran atas pemberlakuan diskriminatif dari kelas yang berkuasa terhadap kelas yang tertindas.
Penguasaan masyarakat secara umum, serta kehendak berkuasa dengan langgeng dari panguasa, maka tertib sosial ditegakan dan penguasa dibenarkan untuk mencabut nyawa manusia selain tuhan.
Indonesia memiliki seharah yang telah lama tumbuh bersama tradisi hukuman mati,sejak zaman feodal atas nama tata "tentreming-praja" , zaman kolonial atas nama "rust en orde" , zaman fasisme jepang atas nama "nipon raya" , zaman revolusi nasional atas nama "rule of law", dan zaman orde baru atas nama "stabilitas nasional" hingga samapai pada jokowidodo atas nama indonesia darurat narkoba.
Hukuman mati selalu mencari wacana agar mendapatkan legitimasi publik, namun legitimasi publik khusunya untuk hukuman mati tidak mencerminkan "persetujuan publik" melainkan "penguasaan atas persetujuan publik". Dalam wilayah setuju dan tidak setuju atas suatu kebijakan nasional seharusnya dihiduokan demokrasi deliberatif, semuah gagasan harus diuji, diuji dengan argumentasi yang rasional yang menyangkut kepentingan orang banyak, bila demokrasi deliberatif tidak dipraksiskan sebelum perberlakuaan atas suatu kebijakan maka jelas yang terjadi adalah penguasaan atas pengetahuan, keefesiensi, serta keabsahan yang seharuanya diperiksa.
Secara empiris, belum ada yang namanya hukuman mati memiliki efek jerah dan membuat para pembuat kesalahan menjadi sadar dan cenderung membentuk watak perilaku yang baik. Hukuman mati justru terkesan ingin melakukan penguasaan atas ruang "psikologis publik" dengan menanamkan memori ketakutan atas segala elemen guna melakukan penundukan terhadap penguasa secara masif. Sejalan dengan falsafah kekuasaan machiaveli, bahwa penguasa lebih baik ditakuti daripada dicintai, penguasa akan meniadakan moralitas dari poltik, guna menopang lekuasaanha agar tidak diintervensi oleh berbagai pikiran diluar pikirannya. Paradoks sangat ditolak, sekalipun keberadaan paradoks itu membuktikan tidadnya ruang dialektika yang sehat atas keputusan diberlakukan kebijakan.
Relasi antara hukuman mati dengan kekuasaan berjalan seirama, untuk dapat melanggengkan kekuasaan maka perlu oenguasa harus membuat masyarakatnya takut, masyarakatnya tunduk dan patuh pada keinginan penguasa.
Kesimpulan
Menyoal hukuman mati terutama kita perlu mengetahui esensi kemanusiaan, mengenal dengan dalam hak aaasi manusia dan bagaimana peran negara untuk menjaga keberlangsungan esenai kemanusiaan dan hak asaai manusia. Hukuman mati tidak sajah kontras kemanusian sehingga memunculkan emansipas, tapi perlu hukuman mati itu dperiksa keberpihakannya,dan dari mana persetujuan itu disapatkan. Kemanusiaan yang adil dan beradap merupakan sebuah gagasan ideologis indonesia yang harus membumi dan merasuki setiap gagasan regulasi dan kebijakan. Tidak bisa dipungkiri, bahwa keberadaan hukuman mati merupakan cerminan rezim dan penguasanya tidak memiliki watak ideologis. Atas dasar negara yang menjunjung tinggi harkat dan bartabat kemanusiaan maka sudah otomatia tanpa adanya emansipasi harapnya kemantangan mengideologisasi kebijakan sudah harus tuntas. Jangan karna alasan kekuasaan ideologi dipermainkan, publik dibodohkan dan kekuasaan dilanjutkan.
Yusril Toatubun
Malang/ 23/12/2018
Komentar
Posting Komentar